KEBUDAYAAN KHAS TEGAL MANTU POCI DAN BALO BALO
Poci khas Tegal yang biasanya dijadikan penganten dalam acara Mantu Poci.
Gambar para pemain music Balo-balo sedang memainkan alat musicnya dalam mengiringi acara Mantu Poci.
MOCI atau minum the dengan poci tanah merupakan ritme dari kehidupan masyarakat tegal dan sekitarnya. Bahkan dari kebiasaan itu muncul kebudayaan unik, yaitu Mantu Poci merupakan tradisi masyarakat kota Tegal yang sudah berlangsung secara turun-temurun. Acara intinya melangsungkan “pesta perkawinan” antara sepasang poci tanah.
Balo-Balo mantu poci adalah sebuah pertunjukan seni rakyat Kota Tegal, yang memadukan antara unsure bunyi seni rakyat balo-balo dan unsure cerita mantu poci. Layaknya sebuah perhelatan mantenan, dan diselingi hiburan tari dan lagu-lagu tegalan.Awalnya tradisi tersebut digelar untuk mempererat tali silaturahmi antar tetangga,khususnya bagi mereka yang tidak memiliki keturunanan dan berkeinginan untuk mengadakan syukuran seperti sunat atau nikahan. Meski tidak ada yang mengetahui sejak kapan tradisi tersebut mulai muncul ,masyarakat tegal meyakini bahwa tradisi tersebut adalah tradisi asli kota bahari tersebut. Di kota yang masih mempertahankan tradisi tersebut yaitu di daerah pinggiran,,seperti Kelurahan Tegalsari,Muarareja,Tunon,cabawan,dan Margadana. Biasanya mantu ini dilaksanakan setelah lebaran atau di bulan sawal.
Selain mantu poci,warga Tegal juga mengenal sunatan poci. Secara umum, pelaksanaan mantu poci dan sunatan poci hampir sama.adapun yang membedakannya,untuk sunatan poci yang punya hajat biasanya menghiasi ujung poci dibalut dengan kain atau kapas. Poci yang telah dihias diarak keliling rumah sebanyak tujuh kali dan didoakan selayaknya hajatan menyunatkan anaknya sendiri. Setelah itu poci diletakan di kursi yang telah dihias lengkap makanan seperti kebutuhan anak yang disunat.
Sementara orang tua yang punya hajat duduk berdampingan mengapit poci untuk menerima ucapan selamat dan menerima sumbangan dari undangan yang hadir. Untuk mantu poci yang punya hajat menyediakan dua poci dan dihias seperti wanita dan pria. Poci pria diberi topi, dan poci wanita diberi hiasan melati dan janur sebagai lambang wanita. Kedua poci tersebut diarak keliling dan di tempatkan di kursi yang telah dihias. Selain sebagai harapan agar pasangan suami istri segera mendapatkan keturunan, mantu poci juga bertujuan agar penyelenggara merasa seperti menjadi layaknya orang tua yang telah berhasil membesarkan putra putri mereka, kemudian dilepas dengan pesta besar dengan mengundang sanak saudara, dan relasi.
Tradisi mantu poci memadukan antara unsur bunyi/musik seni rakyat balo-balo dan unsur cerita mantu poci. Perpaduan musik rebana, kendang, gending slendro, bass, serta gitar terdengar mengalun rancak mengiringi syair puja, puji, kritik, serta guyon wangsalan khas Tegal dalam kesenian ’Balo-Balo’ yang merupakan kesenian khas Kota Tegal, Jawa Tengah.Tawa riang dan riuh tepuk tangan penonton sesekali pecah di tengah alunan musik gending-gending tegalan yang dinamis, ditambah tabuhan kendang Jawa dan petikan bass mengiringi lantunan syair para pemain membuat pertunjukan kesenian Balo-Balo semakin meriah.
Balo-Balo berasal dari kata ’bolo-bolo’ yang berarti kawan-kawan. Kesenian yang pada awal kelahirannya sewaktu penjajahan Belanda sebagai sarana syiar atau dakwah menyebarkan agama Islam, kemudian pada perkembangnya dijadikan masyarakat, khususnya Tegal, untuk mengelabuhi para penjajah. Lengkap dengan kostum adat Tegal, semua peserta baik penabuh rebana maupun pelantun syair berada pada satu panggung, sementara para penabuh musik duduk sambil sibuk memainkan alat musik, sedangkan peserta lainnya bergantian mendendangkan lagu islami serta melantunkan syair-syair bijak penuh makna.
POSTMODERNISME
Postmodernisme adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan modernisme-nya. Postmodernisme bukanlah faham tunggal sebuat teori, namun justru menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal. Banyak tokoh-tokoh yang memberikan arti postmodernisme sebagai kelanjutan dari modernism. Namun kelanjutan itu menjadi sangat beragam. Bagi Lyotard dan Geldner,modernisme adalah pemutusan secara total dari modernisme Bagi Derrida, Foucault dan Baudrillard, bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-teori . Bagi David Graffin, Postmodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari moderinisme. Lalu bagi Giddens, itu adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak. Yang terakhir, bagi Habermas, merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai.
Postmodernisme dibedakan dengan postmodernitas, jika postmodernisme lebih menunjuk pada konsep berpikir. Sedangkan postmodernitas lebih menunjuk pada situasi dan tata sosial sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara dan bangsa serta penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi. Hal ini secara singkat sebenarnya ingin menghargai faktor lain (tradisi, spiritualitas) yang dihilangkan oleh rasionalisme, strukturalisme dan sekularisme.
Setidaknya kita melihat dalam bidang kebudayaan yang diajukan Frederic Jameson, bahwa postmodernisme bukan kritik satu bidang saja, namun semua bidang yang termasuk dalam budaya. Ciri pemikiran di era postmodern ini adalah pluralitas berpikir dihargai, setiap orang boleh berbicara dengan bebas sesuai pemikirannya. Postmodernisme menolak arogansi dari setiap teori, sebab setiap teori punya tolak pikir masing-masing dan hal itu berguna.
MANTU POCI DAN BALO-BALO ( POSTMODERNISME)
Perkembangan postmodernisme sering berkaitan dengan wacana-wacana budaya (cultural studies) yang mulai mengarah pada entitas perilaku, termasuk dalam relasi hegemoni.
Hal ini dapat dipahami,mengingat di Barat sendiri, kelahiran postmodernisme tidak lepas dari ruang sosial, yang berdemarkasi, baik dalam interaksi individu, struktur sosial kenegaraan, maupundiruangpublik.
Di Eropa sendiri, postmodernisme dianggap sebagai “the haunt of social science”, yang dapat mengebiri realitas menjadi hiperrealitas, foundationalism menjadi anti-foundationalism, konstruksi menjadi dekonstruksi, history menjadi genealogy, dan sebagainya, yang jika masuk ruang budaya seperti menjungkirbalikkan suatu tradisi. Postmodernisme mengklaim dirinya sebagai perwujudan baru dari modernisasi. Progresivitas pembaruan yang hendak ditawarkannya merupakan antiklimaks dari budaya modernisasi.
Hal ini dapat dipahami,mengingat di Barat sendiri, kelahiran postmodernisme tidak lepas dari ruang sosial, yang berdemarkasi, baik dalam interaksi individu, struktur sosial kenegaraan, maupundiruangpublik.
Di Eropa sendiri, postmodernisme dianggap sebagai “the haunt of social science”, yang dapat mengebiri realitas menjadi hiperrealitas, foundationalism menjadi anti-foundationalism, konstruksi menjadi dekonstruksi, history menjadi genealogy, dan sebagainya, yang jika masuk ruang budaya seperti menjungkirbalikkan suatu tradisi. Postmodernisme mengklaim dirinya sebagai perwujudan baru dari modernisasi. Progresivitas pembaruan yang hendak ditawarkannya merupakan antiklimaks dari budaya modernisasi.
Kebudayaan khas Tegal ini dapat dikaji secara postmodernisme, karena acara adat Mantu Poci atau sunat poci dahulunya dilaksanakan dengan tujuan apabila suami istri yang tidak mempunyai keturunan, tetapi berniat untuk menggelar pesta hajatan, dan untuk ritual sebagai jalan untuk agar dapat segera mendapatkan keturunan. Namun dengan berjalannya perkembangan zaman yang maju pesat, kebiasaan itu telah banyak ditinggalkan oleh masyarakat. Pada saat ini Mantu Poci atau Sunat Poci dilaksanakan dengan tujuan hanya sebagai pertunjukan kesenian khas pesisir Kota Tegal.
Begitu juga dengan kesenian Balo-balo,yaitu Kesenian music tradisional khas Tegal yang biasanya mengiringi acara Mantu Poci. Balo-Balo berasal dari kata ’bolo-bolo’ yang berarti kawan-kawan. Kesenian yang pada awal kelahirannya sewaktu penjajahan Belanda sebagai sarana syiar atau dakwah menyebarkan agama Islam, namun kemudian pada perkembangnya menjadi berbeda tujuannyadan kesenian ini dijadikan masyarakat, khususnya Tegal, untuk mengelabuhi para penjajah.Saat para pejuang tengah berkumpul untuk menyusun strategi melawan penjajah, warga lainnya sibuk berkerumun sambil menabuh rebana dan asyik berdendang, sehingga para penjajah tidak curiga dan menganggap warga sedang bersenang-senang menggelar hiburan. Balo-Balo bertujuan menjalin komunikasi antarwarga yang lebih baik. Dari syair dan lakon yang dipentaskan, masyarakat dapat memperoleh pelajaran penting, baik tentang lingkungan sekitar, keamanan, maupun budi pekerti. Lantunan syair yang dituturkan para lakon menggunakan dialek Tegal ’deles’ (asli/murni), tanpa ada unsur bahasa Indonesia atau bahasa daerah lainnya, sehingga kerap membuat para penonton terkesima.
Pada zaman yang sudah maju pesat seperti pada saat ini kesenian balo-balo tidak lagi dijadikan sebagai sarana menyebarkan agama Islam, ataupun sebagai cara untuk mengelabuhi penjajah, namun kesenian Balo-balo di Tegal dilaksanakan sebagai ajang hiburan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat luas.
Seperti teori yang diajukan Frederic Jameson, bahwa postmodernisme bukan kritik satu bidang saja, namun semua bidang yang termasuk dalam budaya. Ciri pemikiran di era postmodern ini adalah pluralitas berpikir dihargai, setiap orang boleh berbicara dengan bebas sesuai pemikirannya. Postmodernisme menolak arogansi dari setiap teori, sebab setiap teori punya tolak pikir masing-masing dan hal itu berguna. Mantu Poci dan Balo-balo bebas berekspresi sesuai dengan tujuan dan pemikiran para seniman-seniman itu sendiri, namun kesenian ini masih dalam kesenian yang baik untuk dikonsumsi dan dapat diterima oleh masyarakat luas.
tegal memang laka-laka..
BalasHapushttp://www.setyotegal.blogspot.com/